Sudut Narasi:
Sabtu,4 /10/2025
Deliserdang|Parnadaily.com
Kolonial Belanda, secara langsung maupun tidak langsung, telah menisbatkan orang Jawa sebagai "Pangreh Praja atau "Inlands Bestuur" sebagai pejabat perpanjang tangan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan penempatannya. Orang-orang Jawa bangsawan pada masa itu telah di atur untuk mengisi posisi-posisi penting dalam mengurusi masyarakat.
Pangreh Praja selalu melekatkan dalam tugas, fungsi, dan tanggung jawab, dalam mengatur masyarakat setempat. Mengelola memutar roda pemerintahan dari sekup terkecil yang sulit di jamah oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Pangreh Praja di desain untuk pengaturan tidak diatur. Sehingga masyarakat Jawa pada masa itu cenderung patuh pada pemegang otoritas yang diikuti oleh iringan sosio-kebudayaan Jawa yang khas dan kental.
Pejabat-pejabat Pangreh Praja kala itu mendapatkan banyak sekali mandataris dan wewenang dalam mengatur masyarakat setempat seperti: mengelola administrasi, mengatasi kriminalitas, dan memungut pajak.
Dengan kekuasaan kekuasaan atas yang berwenang-wewenang yang diberikan itu, maka pejabat elit atau elit birokrat Jawa pada masa itu tidak pernah merasa bersalah karena jabatan yang dipegang adalah jabatan yang sangat mulia dan terhormat dan harus di jaga dan diwariskan ke keturunan-keturunan.
Mentalitas yang terbentuk itulah mengapa sistem elit birokrat selalu terlihat eksklusif dan tidak perduli soal kritikan ataupun memutarbalikkan demokrasi yang sejadi-jadinya.
Dengan dalih kekayaan jabatannya, Pangreh Praja harus memberikan kehormatan budaya yang dibuat lalu diberikan oleh masyarakat yang tidak tahu menahu karena dituntut untuk bekerja tetapi dengan kemampuan tidak bisa dibaca tulis oleh sebagian besar masyarakat pada masa itu.
Sehingga pejabat-pejabat 'Pangreh Praja' itu dapat mengumpulkan harta yang ingin diperolehnya dengan otoritas yang sedang ia jalani seumur hidup hingga akan beralih ke keturunan-keturunannya.
Kesan budaya 'Pangreh Praja' itu yang masih mengental di tengah buruknya sistem kerja birokrasi kita. Pada saat tertentu ia menghamba, pada saat yang lain ia pun harus dihamba oleh masyarakat disekitarnya.
Selain itu, ada etos kerja yang tidak pernah sejalan dengan cita-cita yang dianut sendiri oleh sistem birokrasi ini seperti adanya transparansi, akuntabel, profesional, pengabdian kepada bangsa dan negara, dan lain sebagainya.
Ada prestise sosial budaya yang mungkin sengaja dipertahankan agar legitimasi kekuasaan tidak tergerus dan hilang.
Selayaknya, kita menyadari bahwa jabatan itu bukan seumur hidup, jabatan tidak akan pernah benar-benar melekat dalam kehidupan kita, karena ada sistem demokrasi di dalamnya.
Jabatan itu dipilih oleh rakyat, rakyatlah yang memilih sehingga seseorang terpilih menjadi pejabat.
Rakyatlah pemegang kekuasaan penuh di negara demokrasi, tidak ada rakyat tidak ada negara.
Vox Populi, Vox Dei!
Citra Syuhada, SH
Aktivis/Intelektual Muda
(Merah)
0 Komentar
Tinggalkan Pesan Anda Disini